Oleh : Indra J Piliang
(Foto : Indra J Piliang Bappilu Partai Golkar dan Pemrakarsa Korsa Airlangga)
Kabarpatigo.com - JAKARTA - Ketika mencoba menemukan sejumlah koleksi buku-buku saya yang bertemakan Partai Golkar, tentulah yang terbanyak berupa sejumlah hasil musyawarah, rapat kerja, hingga rapat koordinasi. Buku-buku yang berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan. Garis-garis besar haluan organisasi tentulah paling menumpuk.
Tentu, bagian yang paling sulit saya temukan adalah laporan pertanggungjawaban keuangan partai. Soalnya, pertanggungjawaban wajib dari anggaran yang berasal dari APBN atau APBD berjumlah relatif sedikit dibandingkan dengan operasional Partai Golkar. Bahkan guna membayar iuran listrik, air, serta gaji pegawan kesekretariatan tidaklah memadai.
Rencananya, saya mau memunculkan sejumlah buku tentang Partai Golkar itu dalam webinar atau youtube. Sayang, saya tidak memiliki banyak waktu guna membongkar isi perpustakaan pribadi saya. Ribuan buku itu berada di rumah kami yang di Bogor yang jarang dihuni.
Belakangan, saya memang mulai memunculkan minat guna menggunakan youtube atau zoom meeting sebagai area ekspresi. Sungguh sulit sekali. Terbiasa dengan bahasa tulisan, kini kudu berani untuk bercakap. Kebanyakan cakap yang tercurah dari mulut juga tak mudah ditangkap dalam bentuk teks. Sama dengan teks yang panjang, tanpa koma. Tulisan yang pendek, singkat, lebih mudah dipahami, ketimbang tulisan yang terbiasa dimunculkan para perawi kitab-kitab suci yang nyaris tanpa koma itu.
Baik, tidak bertemu buku-buku itu?
Ketik “disertasi tentang Partai Golkar” dalam googling. Waw! Luar biasa! Yang muncul adalah skripsi, tesis, plus disertasi. Jumlahnya bejibun. Setiap perguruan tinggi di daerah memuat hasil karya seputar Partai Golkar. Andai seluruhnya dibukukan, diperlukan satu gedung perpustakaan khusus di Slipi guna menghimpunnya. Barangkali, salah satu tugas Golkar Institute adalah mengumpulkan seluruh karya akademis terkait Partai Golkar ini.
Tentu, jangan lupa, Partai Golkar bukan saja memiliki statuta, tapi sudah melalang-buana hingga tahun 2045. Visi Negara Kesejahteraan 2045 sudah dikeluarkan dari Slipi, dalam era Ketua Umum Aburizal Bakrie. Memang, belum lagi tersusun secara periodik, mengingat Partai Golkar – kala itu – bukanlah partai penguasa. Ikut serta dalam pemerintahan, iya. Terutama guna menjaga kekokohan posisi partai pengusung presiden dan wakil presiden terpilih di Parlemen. Sulit bagi Partai Golkar untuk tak menempatkan diri pada posisi itu. Jika satu persoalan saja tak disetujui Partai Golkar, pemerintahan bakal mendapat serangan bertubi.
Jadi, harap maklum jika saya tidak ikutan bersitegang urat leher. Terkecuali, jika berdebat atas nama komponen partai, bisa saya layani dengan sekian banyak dokumen. Itu kalau ada yang masuk kategori debat resmi.
Sebagai Ketua Balitbang DPP Partai Golkar yang terkadang lebih dulu memberikan pernyataan, tentu saya berulang-kali menemukan kenyataan seperti itu. Berkali-kali saya berdebat dengan Bang Ical, bahkan dari pagi sampai malam. Contoh, Bang Ical menegur saya terkait Perppu tentang Mahkamah Konstitusi. Saya memberikan pernyataan di Palu, dalam kegiatan Partai Golkar di sana.
“Indra, saya yang meminta Presiden SBY guna mengeluarkan Perppu itu! Kenapa kamu mengatasnamakan Balitbang DPP Partai Golkar menyatakan Perppu itu lemah?” tegur Bang Ical, dalam pesawat pribadi yang saya lupa kemana lagi setelah saya segera balik dari Palu.
“Gini saja, Bang. Kita taruhan saja. Apakah Mahkamah Konstitusi bakal menolak atau menerima Perppu itu? Saya haqqul yakin, ditolak!” kata saya.
“Apapun itu, Presiden perlu punya sikap dalam wadah konstitusi. Perppu adalah sikap itu. Supaya spekulasi tidak menjadi liar,” kira-kira seperti itu alasan Bang Ical.
Dengan banyaknya perdebatan dengan Bang Ical, saya merasa menimba ilmu dewa-dewa politik dengan gratis. Bagaimanapun, semua ketua umum partai politik, apalagi partai sebesar Partai Golkar, sudah masuk kategori “Para Dewa”. Berdebat dengan Dewa? Ya, sudah tentu bagian dari “Manusia Setengah Dewa” yang dicari dalam lirik Iwan Fals.
Bukan saja dengan Bang Ical saya berdebat. Tentu juga dengan Pak Jusuf Kalla, Mas Novanto, Bang Fahmi Idris, Bang Rizal Mallarangeng, Bang Happy Bone Zulkarnaen, Pak Agung Laksono, Bang Idrus Marham, Bang Yorrys Raweyai, Bang Andi Achmad Dara, Kang Agun Gunadjar Sudarsa, dan lain-lain. Posisi sebagai “juru bicara” partai waktu itu masih lebih cair, dibanding sekarang. Tidak perlu menjadi anggota DPR RI, asal dianggap “orangnya Ketua Umum”, sudah memberi status sebagai juru bicara partai.
Nurul Arifin, Tantowi Yahya, Idrus Marham, dan sejumlah yang lain, mendapatkan “izin tanpa Surat Keputusan” guna menghadapi seluruh peluru yang ditembakkan pers, pengamat, atau lembaga negara lain kepada Partai Golkar. Bang Idrus memang lebih banyak memunculkan kaum intelektual muda di sekeliling meja kerja Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar. Kecakapan berbahasa adalah bagian dari nomenklatur Utama berada dalam lingkaran itu.
Dan tentu, tanpa ada gaji, walau tiap hari berada di depan garis peperangan. Mau adu klipingan keberadaan pernyataan di media cetak atau elektronik, dari pagi hingga malam? Boleh. Asal ada hadiahnya, hehe.
Sekarang? Posisi Partai Golkar berada jauh lebih di depan lagi. Ketua Umum DPP Partai Golkar adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Walau sempat diminta untuk sesekali mampir di kantor beliau, saya lebih memilih datang ke rumah pribadi. Isu ekonomi lebih dikuasai oleh Airlangga Hartarto. Walau, ketika menjelaskan, tekanan politiknya lebih terasa kental.
Saya sering mengikuti dengan rinci penjelasan Airlangga, bahkan dengan memutar ulang wawancaranya dengan Detik-Com yang menurut saya menarik dan keren. Tapi, tak banyak public yang mau habiskan waktu dengan cara seperti itu – bahkan mereka yang kudu berada dalam stakeholders utama, seperti pengamat, kritikus, ilmuwan, atau apapunlah mereka yang kadung adalah kritikus para dewa atau yang bertarung dengan dewa. Bagaimanapun, Airlangga adalah satu dari sekian “dewa” dalam sebutan kami dulunya. Kanal-kanal media social Airlangga yang informatif, sepi dari serangan, hujatan, celaan, ataupun kritikan langsung.
Padahal, sebagai kritikus selama delapan tahun lebih, saya selalu utamakan membaca apa yang disampaikan oleh tokoh atau pihak yang saya kritik. Itu sudah menjadi #JurusPembukaKritikusPemula yang saya pelajari sejak di kelompok studi mahasiswa. Tak perlu jauh-jauh mencari Kakek Segala Tahu di Bukit Tambun Tulang dalam novel Bastian Tito guna mendapatkan jurus itu.
Nah, kalau sudah begini mau apa?
Saya menyaksikan Airlangga sudah menggunakan gigi dua, ketika elemen Partai Golkar masih berasa pada gigi satu. Bang Ical jelas, dia adalah olahragawan, pemegang ban hitam dalam karate. Saya pernah temui ketika ia masih berada di kolam renang, pun lagi bermain tenis. Bahkan, saya pernah lihat Bang Ical mandi di kamar mandi restoran Padang, guna berganti pakaian yang basah oleh keringat.
Bang Ical selalu mengkritik tubuh saya yang tidak bugar, karena menggunakan jaket kulit hitam. Padahal, sering saya menemuinya dalam posisi setelah atau sedang menuju stasiun televisi yang berhawa dingin. Bahasa yang disampaikan oleh Bang Ical lebih terasa berdenging di telinga orang-orang Melayu seperti saya. Atau, pilihan diksi Pak Jusuf Kalla.
Airlangga? Ia adalah titik temu dari dua suku bangsa terbesar di Indonesia, Jawa dan Sunda. Tiga orang pengguna diksi terkuat Sunda dan Jawa itu adalah Ganjar Pranowo, Khofifah Indar Parawangsa, dan Ridwan Kamil. Coba, ketika mereka berbicara, mencuit, atau memunculkan sejumlah meme, apa serbuan para netizen? Dan bayangkan kalau pilihan diksi ketiga orang itu muncul dalam satu orang, Airlangga Hartarto? Makin banyak serbuan.
Begitu juga Partai Golkar hari ini. Usia 56 tahun adalah usia dewasa. Sangat dewasa. Tapi bagaimana kalau di usia inilah, Partai Golkar sedang berada dalam momen to be or not to be? Bertarung dengan seluruh ide dan gagasan yang sudah dibangun selama 20 tahun terakhir ini, lewat ratusan buku, makalah, seminat, tesis, skripsi, ataupun tokoh-tokoh yang muncul menyampaikan pikiran-pikirannya.
Omnibus Law – saya menggunakan diksi Omnibus Bill, ketika belum menjadi undang-undang – bisa jadi berasal (sebagian) dari ide dan pikiran tokoh-tokoh Partai Golkar itu. Idealita dan konsep negara kesejahteraan bisa saja masuk di dalamnya.
Jika memang itu yang terjadi, ketika ide, gagasan, dan pikiran sudah menjadi bagian dari hukum positif, seluruh fungsionaris Partai Golkar, termasuk anggota dan simpatisan, mau-tidak-mau, suka-tidak-suka, layak menjadi petarung baik untuk salah satu ide, atau minimal bertarung dalam bentuk yang lebih dewasa. Salah satunya, membelah-belah lagi, membagi-bagi lagi seluruh cakupan omnibus law itu, lalu memadankan dengan keahlian dan pengalaman yang dipunya.
Tak berdiam diri, apalagi dengan harapan bakal muncul satu gelombang aksi mahasiswa, lalu menunjuk salah satu orang – katakanlah Airlangga – sebagai Air – Lingga – Yoni dari seluruh kesalahan manusia Indonesia dengan massa aksi di Monas. Ya, sebagaimana bangsa ini pernah menyalahkan Sukarno, dua tahun setelah Partai Golkar lahir. Atau mempermalukan Soeharto, 34 tahun kemudian.
Sebab, Airlangga masuk Partai Golkar pada 1998 itu, ketika Pak Harto sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina. Ia tak terbiasa sebagai pribadi yang one man show. Selama 22 tahun di dalam tubuh Partai Golkar, jejak-langkah pertarungannya sudah bisa dilacak. Sementara saya sendiri, baru 12 tahun memiliki NPAPG. Beda satu dekade. Kalau ada yang baru mengurus NPAPG sekarang, asal ikut dalam pertarungan, satu dekade atau satu periode kepengurusan, tak memberikan beda.
Pertarunganlah yang bakal terus membesarkan Partai Golkar. Kembali hanya menjadi pengikut, pengusung, atau muncul sebagai sebenar-benar pemenang. Dan dengan cara itulah ia meniti usia paling matang, 60 tahun. Kapan itu? 20 Oktober 2024. Saat Presiden Republik Indonesia berikutnya dilantik di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia….
Jakarta, 19 Oktober 2020
#IndraJPiliang #HutGolkarKe57
Komentar
Posting Komentar