(Foto: Tahun Baru Islam 1 Muharram 1446 H
Kabarpatigo.com - Mulai hari ini, Minggu 7 Juli 2024 M bertepatan dengan 1 Muharram 1446 H, Muhammadiyah meluncurkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).
Hal ini menandai periode penggunaan formal KHGT bagi organisasi massa Islam ini.
Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Endang Mintarja, mengatakan perubahan ini juga menandai rekonstruksi Wujudul Hilal yang telah digunakan sebelumnya, beralih ke sistem KHGT yang mengadopsi hasil putusan Kongres Turki 2016.
Dengan peluncuran KHGT, Muhammadiyah berharap dapat memberikan solusi atas ketidakteraturan sistem penjadwalan waktu dunia Islam saat ini, serta membayar “utang peradaban” Islam dalam bidang sistem kalender.
Anggota Devisi Hisab Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Tono Saksono, Ph.D, menyatakan Penyatuan Kalender Islam yang telah diinisiasi oleh the International Hijri Calendar Unity Congress di Turki pada Mei 2016 lalu merupakan momentum penting bagi umat Islam untuk secepatnya mengadopsi gagasan penyatuan Kalender Islam.
"Umat Islam tidak boleh lagi alergi terhadap metode hisab karena sahabat-sahabat Nabi terbaikpun telah menggunakan Kalender Urf sebagai hasil hisab," ujarnya.
Prof Tono menyebut angka hipotesis total utang peradaban umat Islam karena kurang bayar zakat diperkirakan sebesar USD10 triliun.
"Ini terjadi selama 1200 tahun akibat penggunaan Kalender Gregorian sebagai pengganti Kalender Islam," ujarnya.
Baca juga: Sego Tempong, Kuliner Khas Banyuwangi
Prof Tono menjelaskan bagi yang pernah mempelajari Theory of Errors, penggunaan Kalender Gregorian sebagai pengganti Kalender Islam untuk keperluan bisnis sebetulnya sudah cukup gamblang menjadi sumber kesalahan yang serius, khususnya jika digunakan untuk jangka yang cukup lama.
Penyebabnya karena ada 365 hari di dalam Kalender Gregorian, sedangkan Kalender Islam hanya memiliki 354 hari. Perbedaan keduanya adalah sekitar 11,5 hari per tahun.
Dengan demikian jika sebuah bisnis Muslim menetapkan haulnya (tutup buku) untuk laporan keuangan dan pembagian keuntungan berdasarkan Kalender Gregorian, maka perbedaan yang 11,5 hari tersebut tidak terzakati.
Angka ini tampaknya tidak berarti jika hanya terjadi pada satu tahun. Namun, harus diingat bahwa umat Islam telah melupakan Kalender Islam sebagai basis perhitungan haulnya selama 1200 tahun.
Dalam Theory of Errors, kesalahan perbedaan yang 11,5 hari ini dinamakan kesalahan sistematis (systematic error) yang kemudian menumpuk.
Jadi misalnya, ada sebuah entitas bisnis Muslim yang telah beroperasi terus menerus selama 1200 tahun, maka zakat terutangnya telah menumpuk menjadi sekitar 40 tahun.
Dengan demikian, utang zakat bisnisnya kira-kira sama dengan 2,5% x 40 tahun = 100%. Artinya, berapapun aset perusahaan ini, sebetulnya, bisnis ini telah muflis (bangkrut) karena utang zakatnya sama dengan nilai total asetnya.
Dengan kata lain, semua aset perusahaan ini sebetulnya tinggal milik para ashnaf.
Bagaimana jika semua bisnis Muslim di dunia telah melakukan kesalahan yang sama akibat tiadanya sistem haul yang benar.
Melakukan ekspansi analogi kasus di atas, maka nilai zakat terutang umat Islam selama 1200 tahun pun adalah sekitar nilai total aset umat Islam sekarang ini. "Inilah yang dinamakan utang peradaban umat Islam," ujar Prof Tono.
Menurutnya, angka hipotesis potensi utang zakat umat Islam adalah sebesar USD10 triliun atau sebesar Rp130.000 triliun.
Jika digunakan jumlah penduduk sebagai variabel penyumbang total utang peradaban, maka share umat Islam Indonesia sekitar 15%, atau sekitar Rp15.000 triliun.
Ini dengan asumsi jumlah umat Islam dunia diperkirakan sekitar 1,6 miliar sedangkan jumlah umat Islam Indonesia ditaksir sebesar 250 juta, atau sekitar 15%-nya.
Jika Rp15.000 triliun ini ditargetkan dilunasi dalam 500 tahun, maka beban pengumpulan zakat terutang ini Rp30 triliun per tahun.
Artinya, target pengumpulan zakat Baznas menjadi Rp (217+30) triliun per tahun. "Ini jelas sebuah proyek yang sangat besar dan akan sangat sulit pelaksanaanya," ujar Prof Tono.
Namun, sekali lagi, kesulitan itu tidak akan menggugurkan kewajiban umat Islam untuk melakukan upaya pembayaran utang tersebut.
Jika para ulama sepakat bahwa karena terlalu besarnya utang tersebut, dan oleh karenanya pembayaran itu belum mampu dilakukan, bahkan harus dilakukan pemutihan, maka jumlah utangnya tetap harus dihitung secara akurat.
Setidak-tidaknya umat Islam harus memperbaiki sistem haul yang sesuai dengan syariah sehingga umat Islam generasi mendatang tidak harus menanggung beban kekurangan pembayaran generasi sekarang.
Untuk itu, sebagai referensi, utang peradaban masa lalu harus diitung secara akurat juga.
Hanya saja, Prof Tono mengatakan, banyak umat Islam di dunia belum menyadari. Ini terbukti dengan kenyataan bahwa kehadiran kalender Islam masih belum dianggap penting dan karenanya kalender Islam cukup dilakukan secara instan melalui rukyatul hilal.
Kesadaran bahwa penggunaan Kalender Gregorian untuk kehidupan muamalah ternyata memiliki konsekuensi syariah yang sangat serius ternyata belum disadari.
"Atas kenyataan ini, diperkirakan akan diperlukan beberapa generasi untuk menyadarkan umat Islam dari kekeliruan masa lalu tersebut," ujarnya.
Artinya, ketersediaan sumberdaya manusia untuk mengampanyekan isu utang peradaban ini menjadi sangat penting. (Sindonews.com)
Komentar
Posting Komentar