Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR 2019-2024, Pimpinan MPR Dorong Mantan Presiden Soeharto dan Gus Dur Diberikan Gelar Pahlawan Nasional

(Foto: ketua MPR RI, Bambang Soesatyo)

Kabarpatigo.com - JAKARTA - Ketua MPR RI ke-16 Bambang Soesatyo menuturkan pimpinan MPR telah menerima surat dari Fraksi Partai Golkar tertanggal 18 September 2024 perihal kedudukan pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998.

Berdasarkan putusan Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi/Kelompok DPD tanggal 23 September 2024 dan disampaikan dalam Sidang Paripurna MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024, Pimpinan MPR bersepakat perihal kedudukan hukum pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 menyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003.

"Namun terkait penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 tersebut secara pribadi Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," ujar Bamsoet usai Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR 2019-2024 di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/24).

Baca juga: Membedah Kelompok Masyarakat Indonesia Dengan Cara Berpikir Pemerintah

Baca juga: Lomba Peraturan Baris Berbaris HUT TNI ke 79 Diikuti Siswa SMA dan SMP se Kabupaten Pati

Hadir antara lain Ketua DPR RI Puan Maharani, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Sjarifuddin Hasan, Hidayat Nur Wahid, Fadel Muhammad, Yandri Susanto dan Amir Uskara, Wakil Ketua DPR RI Lodewijk Freidrich Paulus, Sufmi Dasco Ahmad, Rachmad Gobel dan Muhaimin Iskandar serta Wakil Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin.

Baca juga: Dorong Pembangunan Kota Pati sebagai Pusat Kegiatan Utama, Pj Bupati Bahas Rencana Detail Tata Ruang di Jakarta

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini memaparkan, pimpinan MPR juga menerima surat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, perihal Kedudukan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid.

Baca juga: Datangi DPRD Pati, GMPP Bicara Terkait Permasalahan Penataan Lahan Pertanian

Berdasarkan kesepakatan Rapat Gabungan Pimpinan MPR dengan Pimpinan Fraksi/Kelompok DPD tanggal 23 September 2024 dan disampaikan dalam Sidang Paripurna MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024, Pimpinan MPR menegaskan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi. Sebagaimana dinyatakan oleh Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

Baca juga: Pelantikan Presiden dan Wapres RI Terpilih Disepakati Rapat Gabungan Pimpinan MPR RI Ditetapkan dengan Ketetapan MPR

Sebelumnya, pimpinan MPR juga menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM tertanggal 13 September 2024, perihal Tindak Lanjut Tidak Berlakunya TAP Nomor XXXIII/ MPRS/1967.

Berdasarkan kesepakatan pada Rapat Pimpinan MPR tanggal 23 Agustus 2024, Pimpinan MPR telah menegaskan bahwa bahwa sesuai pasal 6 TAP Nomor I/MPR/ 2003 tentang Peninjauan Materi dan Status Hukum Seluruh TAP MPRS dan TAP MPR mulai tahun 1960 sampai 2002, TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS /1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Sehingga, tuduhan pengkhianatan terhadap Bung Karno telah digugurkan demi hukum oleh Keputusan Presiden Nomor 83/TK/2012 tentang Gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 25 huruf e UU Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

"Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan. MPR adalah rumah kebangsaan kita bersama. MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sudah sepantasnya dalam kerangka itu MPR merajut persatuan bangsa. Karenanya, pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari mantan Presiden Soekarno, mantan Presiden Soeharto, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dapat diberikan penghargaan yang layak sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagai pahlawan nasional, termasuk gelar Pahlawan Nasional," kata Bamsoet.

Dosen tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan RI (UNHAN) dan Universitas Jayabaya ini mengingatkan agar jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil.

Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu.

'MPR adalah aktualisasi dari permusyawaratan seluruh rakyat Indonesia. Sudah sepantasnya dalam kerangka itu, MPR merajut persatuan bangsa. Layaknya benang yang mengikat kain berbagai warna, MPR menganyam harapan dan cita-cita bangsa dalam satu harmoni,' pungkas Bamsoet. (*)

Komentar