Sistem Pemilu Kita dan Sumbangsihnya dalam Membentuk Budaya Koruptif di Indonesia

(Sebuah Pengantar Diskusi)

Oleh: KAHMI Majelis Daerah Pati, Jawa Tengah

(Foto: Milad KAHMI KAHMI)

LATAR BELAKANG
Pendahuluan

Kabarpatigo.com - Indonesia hari ini masih mempunyai berbagai masalah terkait masalah kebangsaan, salah satunya adalah budaya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang masih tetap saja melekat di kita bahkan setelah 29 tahun reformasi 1998 bergulir. Salah satu hal yang memperparah kondisi diatas yang akan kita angkat adalah masalah penyelenggaraan pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada yang berbiaya mahal.

Tanpa didukung dengan dana yang besar, mustahil calon pemimpin berkualitas bisa maju di kontestansi pemilu. Hal ini menjadikan biaya pemilu sebagai vairabel “modal” yang harus bisa kembali menjadi “revenue” setelah bakal calon jadi. Tentu ini tentu membuka peluang bagi para pemimpin terpilih untuk melakukan hal-hal “ilegal” dan “haram” untuk bisa mengembalikan modal.

Disisi lain, masyarakat juga semakin dibiasakan untuk memilih pemimpin yang memberikan uang lebih besar. Maka ini akan menjadi benih-benih perilaku korup yang tidak hanya mewabah di kalangan pejabat namun juga membudaya di kalangan akar rumput karena sudah menjadi kebiasaan yang berulang. Kita tahu bahwa karakter bisa terbentuk dari kebiasaan yang berulang, sedangkan karakter akan mempengaruhi nasib. Dengan kata lain kebiasaan buruk ini akan menjelma menjadi sebuah nasib buruk jika tidak ada yang mau dan mampu untuk peduli. Anggota KAHMI adalah salah satu elemen yang diharapkan masih mau dan mampu untuk peduli terhadap hal hal tersebut diatas.

Baca juga: Hadiri Rakor Penetapan Alat Peraga Kampanye, Pj Bupati Soroti Pemasangan Banner Calon di Pohon

Peringatan Milad KAHMI ke 58 yang akan jatuh pada tanggal 17 September 2024 bisa dijadikan momentum bagi KAHMI untuk mengadakan kegiatan yang bisa memberikan kontribusi untuk bangsa dan keumatan. Dengan berdialektika kita tidak hanya akan memberikan sumbangsih namun sekaligus berkonsolidasi untuk menciptakan perubahan yang lebih baik.

(Foto: diskusi kebangsaan)

Sistem Pemilu di Indonesia

Pemilu menjadi masalah penting dan mendesak yang perlu dibahas karena menyangkut masa depan keberlangsungan sebuah negara dan bangsa. Negara harus dikelola dengan kekuasaan yang sah dan konstitusional.

Kekuasaan yang sah dan konstitusional tersebut harus berasal dan diberikan oleh rakyat yang berdaulat melalui mekanisme pemilu. Kekuasaan yang didapat tanpa melalui pemilu yang berasas langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil hanya akan berujung pada praktek-praktek pemerintahan zalim, diskriminasi bahkan korup.

Secara umum sistem pemilu ada dua macam, yaitu sistem distrik dan sistem proporsional. Pada sistem distrik, satu daerah pemilihan hanya memilih satu wakil. Calon yang mendapatkan suara paling banyak dianggap sebagai pemenang. Di Indonesia, pemilihan DPD mengikuti sistem distrik, tetapi berwakil banyak, yaitu dipilih 4 wakil DPD di setiap provinsi.

Baca juga: Diskusi Kebangsaan Mengawali Peringatan Milad ke 58 KAHMI di Pati

Pada sistem proporsional, tiap partai politik mendapatkan kursi sesuai dengan jumlah suara yang didapat. Sistem proporsional inilah yang dipakai dalam pemilihan DPR dan DPRD. Partai yang mendapatkan suara lebih banyak akan mendapatkan jumlah kursi yang lebih banyak juga.

Namun tidak semua partai yang mendapatkan suara dianggap lolos, masih ada yang namanya ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Partai yang jumlah suaranya mencapai ambang batas inilah yang bisa mendapatkan kursi di DPR.

Proporsional Terbuka vs Tertutup

Pada Sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif, sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja.

Sistem proporsional pertama kali dipakai pada pemilu pertama Indonesia pada tahun 1955 yang menerapkan sistem demokrasi parlementer hingga 1959. Sistem proporsional tertutup menjadi pilihan sejak masa orde baru dari tahun 1971 sampai 1997, dimana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, daftar caleg tidak ada di surat suara, hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang terpilih berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai.

Setelah reformasi, sistem pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan, dari sistem proporsional daftar tertutup menjadi daftar terbuka, namun tidak sepenuhnya terbuka, karena penentuan mengenai siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan pada nomor urut. Keputusan MK Nomor 22 dan 24/PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan pengujian
undang-undang Pasal 124 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD, mengubah sistem pemilu di Indonesia menjadi sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak.

Saat ini sudah digunakan sistem suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih, melalui formula pemilihan yang diatur dalam UU. Namun, sistem pemilu proporsional terbuka ini terus disorot karena dinilai sebagai tingginya biaya politik, khususnya bagi calon kandidat.

Biaya kampanye masing-masing calon anggota legislatif dalam setiap penyelenggaraan pemilu akan mengalami kenaikan terus menerus. Kontestasi Pemilu dari tahun 2009, 2014 dan 2019 tidak luput dari permasalahan tindak pidana korupsi imbas dari proporsional terbuka.

Dari dinamika di parlemen, para mendukung sistem pemilu proporsional tertutup seringkali berasal dari partai-partai besar dan punya pengalaman panjang dalam pemilu baik pada masa rezim orde baru maupun pasca orde baru. Partai yang lebih mendukung sistem proporsional terbuka relatif partai politik baru yang lahir setelah rezim politik lebih demokratis.

(Foto: informasi penulisan artikel)

Dukungan Partai Politik Parlemen Terhadap Sistem Pemilu Proporsional

Sistem Proporsional Tertutup
Parpol Pendukung:
PDIP, Gerindra dan Golkar

Argumentasi Parpol
1. Lebih memudahkan pemilih menggunakan hak pilih dalam pemilu serentak karena hanya memilih partai politik;
2. Pembiayaan pemilu menjadi relatif murah;
3. Peserta Pemilu adalah partai politik bukan caleg/individu. Sistem terbuka  membuat caleg menjadi lebih sentral daripada peran partai politik;
4. Sistem tertutup memungkinkan terjadi efek ekor jas yaitu kesamaan antara parpol yang dipilih pemilih dengan capres dari parpol yang dipilih.

Baca juga: Puluhan Peserta Ikuti Baitul Arqam, Taufiq: Tetap Semangat Fastabiqul Khaerat dengan RTL

Sistem Proporsional Terbuka
Parpol Pendukung:
Nasdem, PKB, PKS, PPP, Demokrat dan PAN

Argumentasi Parpol
1. Mengurangi/menghindari kemunculan oligarki elit partai dalam menentukan calon-calon terpilih;
2. Memperkuat partisipasi publik/pemilih dengan menentukan caleg pilihan sendiri
berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri oleh pemilih.

Korupsi Karena Pemilu

Dalam sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak, seorang calon hanya butuh jumlah suara lebih banyak daripada jumlah suara calon lain dari Partai yang sama dan di Dapil yang sama untuk ditetapkan sebagai calon terpilih. Tidak peduli dia punya kapabilitas, moral atau ideologi yang sama dengan partai yang penting punya peluang menang. Parpol akan memfasilitasi calon dengan peluang menang tinggi sebagai kendaraan.

Dengan sistem ini parpol tentu saja akan realistis dengan mempertimbangkan kekuatan finasial calon melalui penentuan sejumlah mahar. Parpol adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba tapi dalam kenyataannya melibatkan investasi tak terhingga walau hanya sebagai kendaraan saja.

Sehingga tidak berlebihan jika sistem pemilu saat ini seringkali disebut sebagai Sistem Pemilu Proporsional yang berpusat pada kandidat. Selain memperlemah fungsi partai, sistem ini juga membuka peluang secara lebar bagi para calon legislatif, pemilih dan petugas pemilu dalam transaksi jual beli suara.

Secara logika, biaya politik yang lebih besar saat kampanye dibandingkan pendapatan resmi saat menjabat menimbulkan potensi besar bagi anggota DPR dan DPRD yang terpilih berperilaku korupsi politik. Para anggota DPR dan DPRD harus mengembalikan modal uang yang dilakukan saat berkompetisi dalam pemilu.

Mereka akan menjadi politisi korup karena sistem. Mereka harus pengembalian modal uang yang telah digunakan untuk keperluan masa pencalonan (mahar), masa kampanye (biaya kampanye) dan masa menjabat anggota legislatif (setoran). Maka mereka akan melakukan korupsi anggaran dan korupsi uang reses.

Korupsi politik juga sebagai upaya memenuhi kebutuhan politik uang pada pertarungan elektoral berikutnya. Praktek ini tidak pernah berdiri sendiri tetapi dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada. Secara spesifik, lembaga eksekutif (melalui kementerian atau dinas) dan legislatif (melalui fraksi dan komisi) telah menjelma menjadi pusat korupsi.

Di sisi lain, ini juga berdampak pada masyarakat umum sebagai pemilih. Alasan masyarakat memilih politisi korup karena mereka akan mencari mana yang lebih menguntungkan dan bisa memenuhi semua kebutuhan mereka. Sistem ini tidak hanya membuat politisi menjadi korup namun juga mengajari masyarakat untuk berperilaku korup. Idealnya, sistem pemilu merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.

Namun, melihat realitas yang terjadi saat ini kedaulatan rakyat tergantikan dengan kedaulatan uang. Sebuah perilaku yang tidak hanya mewabah di struktural namun kultural.
Tampaknya perdebatan sistem pemilu yang mengemuka hanya terkait apakah sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu legislatif adalah proporsional terbuka atau tertutup?

Perdebatan tidak menjurus pada penggunaan sistem pemilu lainnya diluar sistem proporsional atau alternatif lain seperti pembuatan dan penerapan hukum yang tegas terhadap korupsi, memperkuat penyelenggaraan pemilu dalam pencegahan, pengawasan, dan penindakan praktik politik uang guna mencegah terjadinya korupsi politik atau memperkuat sistem rekrutmen dan kaderisasi politik guna menghindari rekrutmen instan yang didasarkan pada popularitas, guna menghindari munculnya calon legislatif karbitan. Artikel ini adalah sebuah pengantar untuk diskusi yang lebih mendalam.

Komentar